Bloggers, kali ini, mari kita bicara film. How about 3 Idiots? I bet all of you have heard about 3 Idiots before. Yap, 3 Idiots… film Hindi terbaru yang luar biasa. Bloody awesome! Campuran komedi dan drama cerdas yang sangat menghibur dan membekas. Setidaknya buat saya atau mungkin buat kamu juga? Hehehe..
Owkay, sebenarnya banyak sekali hal yang bisa didiskusikan dari 3 Idiots. Dalam jangka waktu penayangannya yang kira-kira hamper 3 jam, 3 Idiots benar-benar sarat akan nilai positif selain tarian-tariannya yang memang merupakan ciri khas dari film-film Bollywood. Namun, kali ini mari kita sama-sama berkaca mengenai satu hal dari 3 Idiots, yakni tentang pendidikan.
* * *
3 Idiots, bagi saya, sebenarnya tidak cocok mereka dinamakan demikian. Toh, mereka tidak benar-benar idiots. They called so, only because they dare to be different. Itulah hukum normal gak tertulis yang memang sering ada di dunia kita. Mereka-mereka yang out of the box dan gak sejalan dengan sistem yang telah diakui bertahun-tahun akan diberi gelar “si bodoh” dan akan dipinggirkan. Kalo dipikir-pikir, this is a kind of bullying too, right?
Hmm, dari awal film, kita disuguhkan gambaran bagaimana sebenarnya pandangan kebanyakkan orang India dan mungkin juga sebagian dari kita, orang Indonesia, terhadap arti pendidikan. Chathur, seorang kawan lama dari 3 Idiots (Raju, Farhan, dan Rancho), menganggap bahwa pendidikan adalah sebuah alat yang semata-mata digunakan untuk menggapai kesuksesan, kekayaan, dan prestige juga untuk membalaskan dendamnya. Virus, direktur dari institut engineering terkemuka di India, tempat Raju, Farhan, dan Rancho menuntut ilmu juga “mendoktrin” murid-muridnya bahwa hidup itu adalah mengenai kompetisi: “Life is a race. If you don’t run fast someone will beat you and move faster than you”. Begitu pula dengan seorang professor di kelas Rancho. Ia sangat marah begitu mendapatkan penjelasan Rancho yang sangat gamblang, sederhana, juga dilengkapi contoh aplikatif mengenai definisi mesin. Profesor tersebut marah karena yang diiginkannya adalah definisi mesin sesuai dengan yang tertulis dalam textbook kuliah. Bahkan yang paling “ironis” adalah ketika para orang tua di India (is that true? Actually yang saya maksud adalah para orang tua India di film 3 Idiots) menentukan masa depan anaknya sejak mereka diketahui jenis kelaminnya. Menjadi engineer untuk anak laki-laki dan menjadi seorang dokter untuk anak perempuan.
Tentu saja akan menjadi hal yang menyenangkan jika keinginan orang tua tadi memang sejalan dengan impian anaknya. Namun, jika tidak? Hanya tekanan yang akan dirasakan dan pendidikan yang ditempuh pada akhirnya hanyalah sekedar alat untuk memenuhi tuntutan yang ada. Berlomba menjadi yang terdepan, berpeluh demi sesuatu hal yang tidak diresapi esensinya. It will left you nothing but pain, I think. And maybe the worst result of all this situation is dead. Lihatlah, Joy Lobo, seorang mahasiswa tingkat akhir di universitas yang sama dengan 3 Idiots. Joy, awalnya penuh semangat menyelesaikan proyek akhirnya dalam membuat sebuah helikopter mini yang dilengkapi wireless camera. Namun, semangatnya lantas terkubur bersama keinginannya untuk hidup (ya, ia mati gantung diri di kamarnya) akibat Virus yang tidak mengizinkannya untuk menyelesaikan proyeknya dan menyebutnya sebagai “unrealistic project”.
Situasi-situasi yang kurang lebih sama mungkin sering kita jumpai di sekitar kita. Cita-cita orang tua yang menggebu pada akhirnya mendamparkan anaknya di dalam dunia yang salah. Si anak mungkin memang mengikuti keinginan orang tuanya, tapi hatinya tidak dan jadilah kita menjumpai banyak mesin dalam kehidupan sehari-hari kita. Atau, sistem pendidikan yang sangat ketat, sistem penilaian yang membebani, tugas-tugas yang tidak aplikatif, tuntutan-tuntutan untuk mempelajari definisi dan bukannya aplikasi, cibiran terhadap proyek-proyek yang dilabeli “unrealistic” padahal sebenarnya bisa jadi “realistic” jika ditambah poin kerja keras dan open-minded, cara belajar yang selalu mengkonsumsi doktrin dan pada akhirnya menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak mampu berpikir out of the box, prinsip hidup untuk mengejar kesuksesan dan bukannya kenikmatan di balik setiap proses yang dilalui. Ya, ya, ya… normal life, so normal… Itulah yang banyak kita temui di sekitar kita. Mau jujur mengakuinya atau tidak.
Tapi, di dalam film ini, Rancho, seorang pemuda biasa yang luar biasa berhasil memberikan pencerahan kepada beberapa orang di sekitarnya mengenai apa yang “salah” dari segala kenormalan hidup yang biasa kita jalani. Kata-katanya yang sangat saya sukai adalah ketika ia dipaksakan mengajar di sebuah kelas oleh Virus. Ia berkata seperti ini:
“Anybody thought that today we will get something to learn new?
Everyone’s sunk in race
What’s the use if you come first studying like this?
Will you improve your knowledge? NO
Only pressure will increase
And this is a COLLEGE NOT a PRESSURE COOKER
The lion in the circus also learns to sit on the chair fearing the whip held in his owner’s hand..
But we call such a lion as well trained, not WELL EDUCATED”
Dan juga kata-katanya ketika ia mengomentari sistem penilaian (grading) di universitasnya:
“Sir, is it compulsory to sit according to our ranks?
It’s like the caste-system, sir! A grade students-kings, C grade students-slaves! It’s not nice sir!
Results should not be put up on a notice board. Why should we exhibit someone’s weakness in front of all?
The thing is, GRADES CREATE DIVIDE”
Segala hal yang dipikirkan Rancho akan pendidikan ada benarnya. Para orang tua, para penyelenggara sistem pendidikan, sudahkah kita berpikir seperti Rancho? Mendukung apa yang menjadi talenta dari anak-anak kita dan bukannya memaksakan kehendak kita pada buah hati kita? Membuat sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan dan bukannya memicu tekanan/bullying terselubung? Jangan menutup mata, Indonesia. Sadar atau tidak disadari, sudah banyak korban dari sistem pendidikan yang seperti ini. Contoh nyata, saya mendapatkan cerita bahwa di sebuah fakultas Y di perguruan tinggi negeri X, hampir tiap tahun ada saja mahasiswa/i-nya yang “menghilang” baik secara resmi maupun tidak. Ada yang pernah saya dengar ceritanya, salah satu mahasiswa tersebut mengalami depresi jiwa yang cukup parah, karena beban kuliahnya yang cukup berat ditambah ia merasa tidak bisa bergabung dengan komunitas pergaulan di sekitarnya. Dan, masih banyak cerita lainnya yang mungkin tidak terekspos dan hanya disimpan rapat-rapat.
Mungkin, tempat pendidikan informal yang digagas Rancho di akhir cerita dapat dijadikan inspirasi bagaimana seharusnya sebuah pendidikan itu berbentuk dan membentuk seseorang menjadi semakin open-minded dan berdaya kreatifitas tinggi. Pendidikan yang berdasarkan passion. Pendidikan yang tidak mengacu pada definisi tetapi pada hal-hal yang aplikatif. Pendidikan yang dapat dilalui dengan menyenangkan, sama menyenangkannya seperti ketika kamu sedang memainkan game favorit kamu.
Di dunia yang penuh dengan formalitas dan kehendak akan standarisasi seperti saat ini, sepertinya sulit untuk mewujudkan pendidikan yang seperti itu. Hmm, bagaimana menurutmu?
0 komentar :
Post a Comment